UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN
2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang
merata, baik materiil
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga
kerja mempunyai peranan
dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja,
diperlukan pembangunan
ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peransertanya dalam
pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan
keluarganya sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak hak
dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan
dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena
itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada
huruf a, b, c, d, dan e
perlu membentuk Undang undang tentang Ketenagakerjaan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1)
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG
TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga k erja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan
dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk
lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan
rencana ketenagakerjaan secara
sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan
kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang
berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian,
dan analisis data yang
berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang
mempunyai arti, nilai
dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk
memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap,
dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang
dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar yang
ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja
yang diselenggarakan secara
terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan
bekerja secara langsung di
bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau
pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa
di perusahaan, dalam
rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga
kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat
memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi
kerja dapat memperoleh
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja
di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai
nilai Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh
yang sudah tercatat instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri
dari unsur organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat
secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha,
atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat syarat
kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
serta perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang
direncanakan dan dilaksanakan
secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat
buruh untuk menghentikan
atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan
pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan
pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18
(delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai
dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat)
jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan
perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh
dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan
kebutuhan dan/atau keperluan
yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun
di luar hubungan kerja,
yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi
produktivitas kerja
dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan
mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang
ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS,
DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan
Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas
keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN
PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama
tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama
tanpa diskriminasi dari
pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN
TENAGA KERJA DAN
INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah
menetapkan kebijakan dan
menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan
program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah
harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi
ketenagakerjaan yang antara
lain meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun
swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi
ketenagakerjaan dan penyusunan
serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk
membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan,
produktivitas, dan
kesejahteraan.
Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan
kebutuhan pasar kerja dan dunia
usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program
pelatihan yang mengacu pada
standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar
kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau
meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.
Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau
pengembangan kompetensi
pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan
yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama
untuk mengikuti pelatihan kerja
sesuai dengan bi-dang tugasnya.
Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan
kerja pemerintah dan/atau
lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat
pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan
swasta.
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan
hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib
memperoleh izin atau men daftar ke instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran
lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan
penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh
izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh
akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bersifat independen terdiri
atas unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat
menghentikan seme ntara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja, apabila dalam
pelaksanaannya ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9;
dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran
perbaikan dan berlaku paling lama
6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja hanya dikenakan
terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam)
bulan tidak memenuhi dan
melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dikenakan sanksi
penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan
tetap melaksanakan program
pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) dikenakan
sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran
penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara,
penghentian, pencabutan izin,
dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi
kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan
kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan melalui
sertifikasi kompe tensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat pula diikuti
oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja
dibentuk badan nasional sertifikasi
profesi yang inde penden.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi
yang independen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat
dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja
penyandang cacat yang
bersangkutan.
Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam
rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembang kan satu sistem pelatihan kerja
nasional yang merupakan
acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau
sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan
sistem pelatihan kerja
nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem
pemagangan.
Pasal 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian
pemagangan antara peserta dengan
pengusaha yang di buat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha
serta jangka waktu
pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui
perjanjian pemagangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status
peserta berubah menjadi
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak
atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga
sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di
tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun
di luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia
wajib mendapat izin dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), penyelenggara
pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di
luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia
harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan,
termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan
pelaksanaan pemagangan di
luar wilayah Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya
ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang
memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Menteri harus
memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan
negara.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan
kebijakan serta
melakukan koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan
dibentuk lembaga koordinasi
pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga
koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan pelatihan kerja
dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke
arah peningkatan relevansi,
kualitas, dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja
dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan
efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang
bersifat lintas sektor maupun
daerah.
(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga
produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA
KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh
penghasilan yang layak di dalam
atau di luar negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas
terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan
tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat,
minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan
perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan
memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan
kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat
merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga
kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib
memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan
tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
mempekerjakan tenaga
kerja wajib memberi kan perlindungan yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan,
dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga
kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang
meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk
terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga
kerja wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung
maupun tidak langsung,
sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna
tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga
kerja dari pengguna
tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan
tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
PERLUASAN
KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan
kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan
perluasan kesempatan kerja
baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di
setiap sektor diarahkan
untuk mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di dalam
maupun di luar
hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan,
dan dunia usaha perlu
membantu dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan
masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja
dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan
mendayagunakan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga
kerja mandiri, penerapan
sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan
pendayagunaan tenaga kerja
sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya
perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan
perluasan kesempatan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi
pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan
unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan
pembentukan badan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3)
dalam pasal ini diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA
KERJA ASING
Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan
tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja
asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia
hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
yang masa kerjanya habis
dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga
kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus
memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam
struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai
pendamping tenaga kerja
asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara
asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputu san Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati
ketentuan mengenai jabatan dan
standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai
tenaga pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih
keahlian dari tenaga
kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga
kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kerja asing
yang menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang
mengurusi personalia dan/atau
jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap
tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pe merintah, perwakilan negara asing,
badan-badan internasional,
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan
tertentu di lembaga
pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan
penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib
memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta
pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan
Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis
dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang
bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat
dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang
bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal
demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan
pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang
kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda
tangan para pihak dalam
perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf e dan f,
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama,
serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian
kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau
diubah, kecuali atas persetujuan para
pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara
tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak
tertulis bertentangan dengan
ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan
sebagai perjanjian kerja
untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa
Indonesia dan bahasa asing, apabila
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya,
maka yang berlaku
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang
disyaratkan batal demi hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat
diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya
perjanjian kerja waktu tertentu
yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini
hanya boleh dilakukan 1
(satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan
diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat
mensyaratkan masa percobaan kerja
paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya
pengusaha atau beralihnya hak
atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau
hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak
pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain
dalam perjanjian pengalihan
yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal
dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan
dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris
pekerja/ buruh berhak
mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau
berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi
kepada pihak lainnya sebesar
upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat
secara lisan, maka pengusaha
wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
sekurang kurangnya
memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(2) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berbentuk badan hukum.
(3) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(5) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh
yang dipekerjakannya.
(6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja
waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(7) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan
penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan
perusahaan pemberi pekerjaan.
(8) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi
syarat sebagai
berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada
huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian
kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani
oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja, serta perselisihan yang
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh
dan perusahaan lain
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud
dalam undang-
undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) huruf a, huruf b,
dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan.
BAB X
PERLINDUNGAN,
PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang
cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat
dikecualikan bagi anak yang
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima
belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan
sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau
wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu
sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a,
b, f, dan g dikecualikan bagi
anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang
merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh
pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan
pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan
bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu
perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk
mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan
pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh
dewasa.
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja,
kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak
pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam
ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau
sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
menawarkan anak untuk
pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau
perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
melibatkan anak untuk
produksi dan perdagangan m inuman keras, narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif
lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan
anak yang bekerja di luar
hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18
(delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun
dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan
antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi
pekerja/buruh perempuan
yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau
pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3
(tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja
lembur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada
pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah
jam setelah bekerja selama
4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut
tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari
kerja setelah pekerja/buruh
yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi
pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama
dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap
kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf c
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf d hanya berlaku
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya
kepada pekerja/ buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid
merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada
hari pertama dan kedua
pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat
selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu
setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran
kandungan berhak memperoleh
istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan
surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus
diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c , dan d, Pasal 80, dan
Pasal 82 berhak mendapat upah
penuh.
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur
resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk
bekerja pada hari-hari libur
resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus
dilaksanakan atau dijalankan
secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan
kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan pada hari
libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
membayar upah kerja lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna
mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengupahan.
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di
luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan
produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat
(3) huruf a dapat terdiri
atas:
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi
atau kabupaten/kota.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan
hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan
antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak
boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh
menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan
memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala
dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak
melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan
kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh
menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan
atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau
orang tua atau mertua
atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
sedang menjalankan
kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalan-kan ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang
telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan
sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat
buruh atas persetujuan
pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari
perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus
perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh
perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima
perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak
masuk bekerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga)
hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu
meninggal dunia, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia,
dibayar untuk selama 1
(satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan
tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima
perseratus) dari jumlah upah pokok
dan tunjangan tetap.
Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena
kesengajaan atau kelalaiannya
dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya
mengakibatkan keterlambatan
pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah
pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha
dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya.
Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan
pengupahan, kebutuhan hidup
layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88, penetapan
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan
pengenaan denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan
kebijakan pengupahan
yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk
pengembangan sistem pengupahan
nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat
pekerja/-serikat buruh, perguruan
tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat
dan diberhentikan oleh
Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi,
Kabupaten/Kota
diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi
keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan
tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas
kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh,
dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh berupaya
menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan
mengembangkan usaha produktif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi
pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XI
HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah
mempunyai fungsi menetapkan
kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh
dan serikat pekerja/serikat
buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai
dengan kewajibannya,
menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya
serta ikut memajukan
perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan
organisasi pengusahanya
mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembang-kan
usaha, memperluas
lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh
secara terbuka,
demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. embaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian Kedua
Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh ber-hak menghimpun dan
mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana
mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dalam ang-garan dasar dan/atau anggaran
rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Organisasi
Pengusaha
Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota
organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Lembaga Kerja
Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh)
orang pekerja/ buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berfungsi sebagai
forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal
ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh
yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan
pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan
keanggotaan lembaga kerja
sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja
Sama Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan,
saran, dan pendapat kepada
pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan
pemecahan masalah
ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi
pengusaha, dan seri-kat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama
Tripartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Peraturan
Perusahaan
Pasal 108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku
setelah disahkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku bagi peru-sahaan yang telah memiliki
perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung
jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran
dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah
terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum
terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili
kepentingan para
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua)
tahun dan wajib diperbaharui
setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila
serikat pekerja/ serikat buruh
di perusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian
kerja bersama, maka
pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan
perusahaan tetap berlaku
sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah
diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah
peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan
perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan
perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat
yang ditunjuk harus
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai
perbaikan peraturan
perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah
diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka
waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan
wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus
mendapat pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta
memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada
pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan
peraturan perusahaan diatur
dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Perjanjian
Kerja Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa
pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan secara musya-warah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dibuat secara
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa
Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat
tidak menggunakan bahasa
Indonesia, maka per-janjian kerja bersama tersebut harus
diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut
dianggap sudah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116
ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu)
perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu
serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/seri-kat buruh tersebut berhak
mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan
pengusaha apabila memiliki
jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu
serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki
jumlah anggota lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh
dalam perundingan dengan
pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat
dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di
perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha setelah
melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
dilakukannya pemungutan
suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
Pasal 120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh
maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha
yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi
sehingga tercapai jumlah lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja/buruh di perusahaan
tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para seri-kat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan
jumlah anggota masing-
masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 dan
Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat
(2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan
pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung
jawab di bidang
ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2
(dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan
kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga) bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja
bersama yang sedang
berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjan-jian kerja bersama yang sedang
berlaku, tetap berlaku untuk
paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta
pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian
kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja
bersama.
e. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh
bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku
adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan
perjanjian kerja bersama,
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku.
Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan
pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada da-lam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan isi perjanjian kerja
bersama atau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah
perjanjian kerja bersama kepada
setiap pekerja/ buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan
pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka
ketentuan dalam perjanjian kerja
tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan
dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang
diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama
dengan peraturan perusahaan,
selama di perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat
pekerja/serikat buruh dan perjanjian
kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka
ketentuan yang ada dalam
peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut
hanya terdapat 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam
Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut
terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh yang dulu berunding
tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka
perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat
pekerja/serikat buruh
yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh
di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat
buruh yang membuat
perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim
perunding secara
proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut
terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak satupun serikat
pekerja/serikat buruh yang ada
memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan
atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut
ketentuan Pasal 120 ayat
(2) dan ayat (3).
Pasal 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat
pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap
berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan
masing-masing perusahaan
mempunyai perjan-jian kerja bersama maka perjanjian kerja
bersama yang berlaku
adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan
pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger)
antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang
belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan
berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari
penandatanganan kecuali ditentukan
lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak
yang membuat perjanjian
kerja bersama selan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha
pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan,
perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban
pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan
peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan dalam mewujudkan
hubungan industrial merupakan tanggung jawab
pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Lembaga
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan
Industrial
Paragraf 1
Perselisihan
Hubungan Industrial
Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib
dilaksanakan oleh pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara
musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/
buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial melalui
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
diatur dengan undang-
undang.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya
perundingan.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja
berlangsung dilakukan
dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat
memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja
pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang
jenis kegiatan-nya
membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian
rupa sehingga tidak
mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan
keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri
mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok
kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing
ketua dan sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab
mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh
yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh
yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka
demi menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan,
pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi kegiatan proses
produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok
kerja berada di lokasi
perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima
surat pemberitahuan mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan
tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi
yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang
menyebabkan timbulnya
pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan
para pihak yang
berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan
terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara
pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja,
mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan
sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh
dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan
secara sah, tertib, dan
damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau
penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan
pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk
apapun kepada pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan
sesudah melakukan mogok
kerja.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara
sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh
pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan
Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar
pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan
pekerjaan sebagai akibat
gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan
perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari
pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada
perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang
membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air
bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan
minyak dan gas bumi, serta
kereta api.
Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari
kerja sebelum penutupan
perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri
penutupan perusahaan (lock
out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan
(lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditandatangani oleh pengusaha
dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan
instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung
surat pemberitahuan
penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 harus
memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari,
tanggal, dan jam
penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out)
berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang
langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan
(lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang
berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang
menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan
industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan
serikat pekerja/serikat
buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan
atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat
(1) dan ayat (2) tidak
diperlukan apabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
melanggar prosedur mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
melanggar ketentuan normatif
yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam
undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik
badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat
buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi
pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja
wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) benar-benar tidak
menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan
secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
disertai alasan yang menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
apabila telah dirundangkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja
hanya dapat diberikan oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika
ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi
perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit
menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara
terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur
kandungan, atau menyusui
bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali
telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian
kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau
pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan
serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang
berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku,
warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat
kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3)
tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana
telah dipersyaratkan
secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,
secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu
tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan
ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan;
atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151
ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang
dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib
membayar upah beserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang
pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut :
a. masa kerja kurang
dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
c. masa kerja 2 (dua)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
d. masa kerja 3 (tiga)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima)
tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan)
tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang
penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sebagai
berikut :
a. masa kerja 3 (tiga)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua
belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun,
5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima
belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, 6 (enam) bulan
upah;
f. masa kerja 18 (delapan
belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh
satu) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh
empat) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua
puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak
yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :
a. cuti tahunan yang
belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos
pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima
bekerja;
c. penggantian perumahan
serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima
belas perseratus) dari
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi
yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja
bersama.
(5) Perubahan
perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan
uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang
seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang
diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian
dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang
apabila catu harus
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah
dianggap selisih antara
harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh
pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas
dasar perhitungan harian, maka
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan
sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar
perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari
adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan
terakhir, dengan ketentuan
tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi
atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan
upahnya didasarkan pada
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari
upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai
berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan/atau uang milik
perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan
sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,
memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan
kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi
teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan
dalam keadaan bahaya
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja
atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan
yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus didukung dengan bukti
sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh
pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya
berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian
hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung,
selain uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang
pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan
dapat mengajukan gugatan ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
karena diduga melakukan
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka
pengusaha tidak wajib
membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada
keluarga pekerja/buruh yang
menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima
perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima
perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima
perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima
puluh perseratus) dari
upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
untuk paling lama 6 (enam)
bulan takwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh
ditahan oleh pihak yang
berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh yang
setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan
sebagaimana mestinya karena
dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum
masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan
pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh
kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum
masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka
pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang
mengalami pemutusan
hubungan kerja sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (5), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan
yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama, pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada
pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan
ketiga secara berturut-
turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam
perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan
kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang
pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan
sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan
sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara
langsung, selain menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)
diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri
atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dalam
hal terjadi peru-bahan status, penggabungan, peleburan,
atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156
ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena
perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan,
dan pengusaha tidak
bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka
pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami
kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force
majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dibuktikan dengan
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit
oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua)
tahun berturut-turut atau
bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/ buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh
meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya
sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(2), 1 (satu) kali uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3),
dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena
memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah
mengikutkan pekerja/buruh pada
program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha,
maka pekerja/buruh
tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3),
tetapi tetap berhak atas
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang
diterima sekaligus dalam
program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2) dan uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan
uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh
pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan
pekerja/buruh dalam program pensiun
yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan
pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang
premi/iurannya
dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) dapat diatur
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan
pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program
pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang
pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh
atas jaminan hari tua yang
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti
yang sah dan telah dipanggil
oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat
diputus hubungan kerjanya
karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
harus diserahkan paling lambat pada hari pertama
pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) pekerja/buruh yang
bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat
(4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah
ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan
pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak
dicantumkan pada
perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial maka
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa
penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan
pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), dan uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi
keten-tuan Pasal 151 ayat (3)
dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat
(3), Pasal 162, dan Pasal 169
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan
pekerja/buruh yang bersangkutan
serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya
diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa
penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal
162, dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan
kerja tersebut, maka
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak
tanggal dilakukan pemutusan
hubungan kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan,
mengalami cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 (dua belas)
bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan
diberikan uang pesangon 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap
unsur-unsur dan kegiatan yang
berhubungan dengan ketena-gakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
mengikut-sertakan organisasi
pengusaha, seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi
profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat
(2), dilaksanakan secara
terpadu dan terkoordinasi.
Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah,
organisasi peng-usaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat
melakukan kerja sama
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 175
(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang
atau lembaga yang telah
berjasa dalam pem-binaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diberikan dalam bentuk
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenaga-kerjaan yang
mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 176 ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja
tersendiri pada instansi
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 pada
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib
menyampaikan laporan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan
kewajiban, serta wewenang
pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 176 sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan
tugasnya sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus
sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang tindak
pidana di bidang ketenaga-kerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain
tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti yang membuktikan
tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
DAN
SANKSI
ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74, dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82,
Pasal 90 ayat (1), Pasal 143,
dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat
(1), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1),
Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal
78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat
(3), dan Pasal 144, dikenakan
sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1),
Pasal 108 ayat (1), Pasal 111
ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana
denda paling sedikit Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak
menghilangkan kewajiban
pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada
tenaga kerja atau
pekerja/buruh.
Bagian Kedua
Sanksi
Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi
administratif atas pelanggaran
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 15, Pasal 25,
Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1),
Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106,
Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat
produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan
tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan
yang baru berdasarkan
Undang undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan Di Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang
Pembatasan Kerja Anak Dan
Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak
Dan Orang Muda Di
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk
Mengatur Kegiatan kegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. 5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau
Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja
Anak anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang undang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk
Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan Antara Serikat
Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69,
Tambahan Lembaran
Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja
Sarjana (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang
Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang
Vital (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan
ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara
Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan
Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-undang Nomor
25 Tahun 1997 tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi
Undang-undang (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4042),
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 193
Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 25
Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39
P E N J E L A S A
N
A T A S
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN
2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
I. UMUM
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
meningkatkan harkat, martabat,
dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat
sejahtera, adil, makmur, dan
merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa
sehingga terpenuhi hak-
hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan
pekerja/buruh serta pada
saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif
bagi pengembangan
dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi
dan keterkaitan.
Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja
selama, sebelum dan
sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan
kepentingan pengusaha,
pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
pengaturan yang menyeluruh
dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan
sumberdaya manusia,
peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Indonesia, upaya perluasan
kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan
pembinaan hubungan
industrial.
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari
pembangunan ketenagakerjaan
harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial
yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan
penghargaan terhadap hak asasi
manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998
harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan
MPR ini merupakan
tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja.
Penegakkan demokrasi
di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang
optimal dari seluruh
tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun
negara Indonesia yang
dicita-citakan.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang
ketenagakerjaan yang berlaku
selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk
kolonial, menempatkan
pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam
pelayanan penempatan tenaga
kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan
perbedaan kedudukan dan
kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan masa kini
dan tuntutan masa yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah :
• Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan Di
Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8);
• Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang
Pembatasan Kerja Anak
Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor
647);
• Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak
dan Orang Muda Di
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
• Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk
Mengatur Kegiatan-
kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor
208);
• Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau
Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
• Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja
Anak-anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor 8);
• Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-
undang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia
untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
• Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan antara
Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor
69, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 598 a);
• Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
• Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja
Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2270);
• Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan
Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan
Badan yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
• Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55,
Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
• Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3702);
• Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan
Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan
• Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi
Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran
Negara Nomor
4042).
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang
perlu untuk dicabut dan
diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan
yang masih relevan
dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam
Undang-undang ini.
Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut
masih tetap berlaku
sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.
Undang-undang ini disamping untuk mencabut ketentuan yang
tidak sesuai lagi
dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga
untuk menampung
perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan
bangsa Indonesia dengan
dimulainya era reformasi tahun 1998.
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan
terhadap hak asasi manusia di
tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar
International Labour
Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4
(empat) kelompok yaitu :
• Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor
98);
• Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111);
• Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan
• Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182
).
Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak
asasi manusia di tempat
kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan
konvensi dasar tersebut.
Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar
tersebut, maka Undang-undang
ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan
ketaatan dan penghargaan
pada ketujuh prinsip dasar tersebut.
Undang-undang ini antara lain memuat :
• Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
• Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
• Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga
kerja dan pekerja/
buruh;
• Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan
dan mengembangkan
keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan
produktivitas kerja
dan produktivitas perusahaan.
• Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka
pendayagunaan tenaga kerja
secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan
yang sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung
jawab pemerintah dan
masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;
• Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan
kompetensi yang
diperlukan;
• Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila diarahkan
untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis,
dan berkeadilan
antar para pelaku proses produksi;
• Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial,
termasuk perjanjian
kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja
sama tripartit,
pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian
perselisih-an hubungan
industrial;
• Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan
atas hak-hak dasar
pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha,
perlindungan keselamatan, dan
kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh
perempuan, anak, dan
penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah,
kesejahteraan, dan jaminan
sosial tenaga kerja;
• Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam
peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar
dilaksana-kan sebagaimana
mestinya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka
pembangun-an manusia
Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan
ketenaga-kerjaan dilaksanakan
untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil, makmur,
dan merata baik materiil maupun spiritual.
Pasal 3
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai
dengan asas pembangunan
nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta
asas adil dan merata.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan dengan
berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan
pekerja/buruh. Oleh sebab itu,
pembangunan ketenaga-kerjaan dilaksanakan secara terpadu
dalam bentuk kerja sama
yang saling mendukung.
Pasal 4
Huruf a
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu
kegiatan yang
terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja
seluas-luasnya bagi tenaga kerja
Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini
diharapkan tenaga kerja
Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam
Pembangunan Nasional, namun
dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Huruf b
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan
m emberikan kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga
kerja Indonesia sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula
pemerataan penempatan
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan
di seluruh sektor dan
daerah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 5
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras,
agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan
tenaga kerja yang
bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para
penyandang cacat.
Pasal 6
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh
tanpa membedakan
jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran
politik.
Pasal 7
Ayat (1)
Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh
pemerintah dilakukan
melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional,
daerah, dan sektoral.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah
proses penyusunan
rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat
pendayagunaan tenaga
kerja secara optimal, dan produktif guna mendukung
pertum-buhan ekonomi atau
sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral
sehingga dapat membuka
kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas
kerja dan meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh.
Huruf b
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah
proses penyusunan
rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu
instansi, baik instansi
pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan
pendayagunaan tenaga kerja
secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian
kinerja yang tinggi pada
instansi atau perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai
dengan maksud disusunnya
perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja
daerah provinsi atau
kabupaten/kota.
Ayat (2)
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi
swasta diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan.
Pengertian swasta mencakup
perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya
masyarakat di pusat, provinsi
atau kabupaten/ kota.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal
ini adalah kesejahteraan
bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya
kompetensi kerja melalui pelatihan
kerja.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri
dengan mengikutsertakan
sektor terkait.
Ayat (3)
Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat
dasar, terampil, dan ahli.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh
karena itu pengusaha
bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk
meningkatkan kompetensi
pekerjanya.
Ayat (2)
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan
bagi pengusaha karena
perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi
pekerja/buruh.
Ayat (3)
Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan
serta kesempatan yang ada
di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan
perusahaan.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk
pelatihan kerja
perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan
oleh instansi pemerintah
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil
pelatihan, sarana dan
prasarana pelatihan dapat berdayaguna dan berhasilguna
secara optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat
kompetensi yang dilakukan
secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang
mengacu kepada standar
kompetensi nasional dan/atau internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan
keterpaduan berbagai unsur
pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya,
sarana, dan prasarana, tenaga
kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan
adanya sistem pelatihan kerja
nasional, semua unsur dan sumber daya pelatihan kerja
nasional yang tersebar di
instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat
dimanfaatkan secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku
dan/atau uang transpor,
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh
sertifikat apabila lulus di
akhir program.
Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa
peserta pemagangan, merekrut
pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan.
Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian
pemagangan, mengikuti
tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib
perusahaan.
Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang
saku dan/atau uang
transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas
pelatihan, menyediakan
instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan
kerja.
Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka
waktu yang diperlukan untuk
mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program
pelatihan pemagangan.
Ayat (3)
Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan, maka berhak
atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 23
Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang
dibentuk dan/atau diakreditasi
oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau
dilakukan oleh perusahaan yang
bersangkutan bila programnya bersifat khusus.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini
adalah agar terjamin
tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat
kompetensi tertentu seperti juru las
spesialis dalam air.
Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya
untuk membuka
kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang
bersifat spesifik seperti
teknologi budidaya tanaman dengan kultur jaringan.
Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk
menghemat devisa negara,
maka perusahaan diharuskan melaksanakan program pemagangan
seperti keahlian
membuat alat-alat pertanian modern.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi
kepada pencari kerja
secara jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah,
dan jam kerja. Hal ini
diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk
menghindari terjadinya
perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan.
Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas
memilih jenis pekerjaan dan
pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak
dibenarkan pencari kerja
dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja
tidak dibenarkan dipaksa
untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan.
Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar
menawarkan pekerjaan
yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya
dan persyaratan
jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan
kepentingan umum dengan tidak
memihak kepada kepentingan pihak tertentu.
Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan
tenaga kerja dilakukan
berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan
atas ras, jenis kelamin,
warna kulit, agama, dan aliran politik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh
wilayah Negara Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan
memberikan kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga
kerja sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan
kesempatan kerja perlu
diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di
seluruh sektor dan daerah.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga
kerja di luar negeri
diundangkan maka segala peraturan perundangan yang mengatur
penempatan tenaga
kerja di luar negeri tetap berlaku.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di
tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas
sektoral, maka harus
disusun kebijakan nasional di semua sektor yang dapat
menyerap tenaga kerja secara
optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik, maka
pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasinya secara
terkoordinasi.
Pasal 42
Ayat (1)
Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga
negara asing dimaksudkan
agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing
dilaksanakan secara selektif dalam
rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing
merupakan persyaratan untuk
mendapatkan izin kerja (IKTA).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini
adalah badan-badan
internasional yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga
yang bernaung di bawah
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO, WHO, atau
UNICEF.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi
yang harus dimiliki oleh
tenaga kerja warga negara asing antara lain pengetahuan,
keahlian, keterampilan di
bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara
otomatis menggantikan atau
menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya.
Pendampingan tersebut
lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian
agar tenaga kerja
pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada
waktunya diharapkan
dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya.
Huruf b
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut
dapat dilaksanakan baik di
dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja
Indonesia untuk berlatih di
luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka
menunjang upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis,
namun melihat kondisi
masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja
secara
lisan.
Ayat (2)
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian
kerja waktu tertentu,
antarkerja antardaerah, antarkerja antarnegara, dan
perjanjian kerja laut.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para
pihak yang mampu
atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi
tenaga kerja anak, yang
menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat
ini adalah apabila di
perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama, maka isi
perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh
lebih rendah dari peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama di
perusahaan yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang
bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam
ayat ini adalah pekerjaan
yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak
dibatasi waktu dan merupakan
bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan
atau pekerjaan yang bukan
musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak
tergantung cuaca atau
suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan
pekerjaan yang terus
menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan
merupakan bagian dari suatu
proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu
dibutuhkan karena adanya
suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan
pekerjaan musiman yang
tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek
perjanjian kerja waktu
tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam
perjanjian kerja. Apabila
perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa
percobaan kerja harus
diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan
dicantumkan dalam surat
pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian
kerja atau dalam surat
pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja
dianggap tidak
ada.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam,
kerusuhan sosial, atau gangguan
keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku atau
hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus
diberikan yang lebih baik dan
menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok
atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha
hanya diperbolehkan
mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu
tertentu dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha
pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan
(cleaning service), usaha
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha
tenaga pengaman
(security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di
pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja
maupun penyelesaian
perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan
pekerja/buruh harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh memperoleh
hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul dengan pekerja/ buruh lainnya di
perusahaan pengguna jasa
pekerja/buruh.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
misalnya penyediaan
aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung
diri yang disesuaikan dengan
jenis dan derajat kecacatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak
agar pengembangan
bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia ini
tidak terhambat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat (1)
Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja
dimaksudkan untuk
menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar
hubungan kerja. Upaya
tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan
terkoordinasi dengan instansi
terkait.
Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak
penyemir sepatu atau anak
penjual koran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah
pengusaha. Apabila
pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini
dipekerjakan antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00 maka yang bertanggung jawab
atas pelanggaran
tersebut adalah pengusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam
ayat ini misalnya
pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan
jarak jauh, penerbangan
jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan
hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus
dihindarkan karena
pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk
istirahat dan memulihkan
kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat
kebutuhan yang mendesak
yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari
sehingga pekerja/buruh harus
bekerja melebihi waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi
uang kompensasi hak
istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar ½ (setengah)
bulan gaji dan bagi perusahaan
yang telah memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik
dari ketentuan undang-
undang ini, maka tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang
sudah ada.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 80
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan
tempat untuk
melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh
dapat melaksanakan
ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan
perusahaan.
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat
keterangan dokter kandungan
atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 83
Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini
adalah lamanya waktu
yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk
menyusui bayinya dengan
memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi
dan kemampuan
perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani
kepentingan dan kesejahteraan
umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan
jenis pekerjaannya
tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk
memberikan jaminan
keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para
pekerja/buruh dengan cara
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
pengendalian bahaya di tempat
kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja adalah
bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan
yang meliputi struktur
organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab,
prosedur, proses, dan sumber
daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan,
pencapaian, pengkajian, dan
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja
dalam rangka pengendalian
risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna
terciptanya tempat kerja yang aman,
efisien, dan produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak adalah
jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil
pekerjaannya sehingga
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan
keluarganya secara wajar yang
meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan,
pendidikan, kesehatan,
rekreasi, dan jaminan hari tua.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok
lapangan usaha beserta
pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia
untuk kabupaten/kota,
provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh
lebih rendah dari upah
minimum regional daerah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan
hidup layak dalam
ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus
disesuaikan dengan tahapan
pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup
layak yang
besarannya ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara
bertahap karena kebutuhan
hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan
hidup minimum yang
sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang
tidak mampu
dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan
melaksanakan upah
minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila
penangguhan tersebut
berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib
melaksanakan upah minimum
yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar
pemenuhan ketentuan upah
minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai
pedoman penetapan upah
sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta
untuk mengurangi
kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di
perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan
hidup, prestasi kerja,
perkembangan, dan kemampuan perusahaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya
berlaku untuk semua
pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat
melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit
menurut keterangan
dokter.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara
adalah melaksanakan
kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan
kewajiban terhadap negara
dilaksanakan apabila :
a. negara tidak melakukan pembayaran; atau
b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima
pekerja/buruh, dalam hal
ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut
agamanya adalah
melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah
diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 94
Yang dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah
pembayaran
kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan
tidak dikaitkan dengan
kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja
tertentu.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah
pekerja/buruh harus dibayar
lebih dahulu dari pada utang lainnya.
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain
pelayanan keluarga
berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh,
fasilitas beribadah,
fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan,
dan fasilitas rekreasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan
adalah kegiatan yang
bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar
upah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi
anggota serikat
pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar
pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Ayat (1)
Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50
(lima puluh) orang,
komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara
individual dengan baik dan
efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50
(lima puluh) orang atau
lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui
sistem perwakilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban
pengusaha dan
pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan
tidak boleh lebih
rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan
peraturan perusahaan
kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang
mudah dibaca oleh para
pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan langsung kepada
pekerja/buruh.
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan
itikad baik, yang berarti
harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta
kesukarelaan/kesadaran yang
artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak
lain.
Ayat (3)
Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa
Indonesia dan diterjemahkan
dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran,
maka yang berlaku perjanjian
kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 117
Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dapat
dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Cukup jelas
Pasal 120
Cukup jelas
Pasal 121
Cukup jelas
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja
bersama tidak boleh lebih
rendah dari peraturan perundangan-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas
Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
Pasal 135
Cukup jelas
Pasal 136
Cukup jelas
Pasal 137
Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini
adalah tidak
tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang dapat
disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan
atau perundingan
mengalami jalan buntu.
Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak
mengganggu keamanan dan
ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan
harta benda milik
perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik
masyarakat.
Pasal 138
Cukup jelas
Pasal 139
• Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau
perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan
jiwa manusia
adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu
perlintasan kereta
api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas
udara, dan pengontrol arus lalu
lintas laut.
• Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian
rupa yaitu pemogokan
yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang
menjalankan tugas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan
oleh penanggung jawab
pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk
bekerja.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 141
Cukup jelas
Pasal 142
Cukup jelas
Pasal 143
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini
antara lain dengan cara :
a. menjatuhkan hukuman;
b. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau
c. melakukan mutasi yang merugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 144
Cukup jelas
Pasal 145
Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif
adalah pengusaha
secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya
sebagaimana dimaksud dan/atau
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama,
atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun
sudah ditetapkan dan
diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini
tidak menghilangkan
ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang
melakukan pelanggaran
ketentuan normatif.
Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara
tidak sah atau
sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas
tuntutan normatif, maka
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh.
Pasal 147
Cukup jelas
Pasal 148
Cukup jelas
Pasal 149
Cukup jelas
Pasal 150
Cukup jelas
Pasal 151
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah
kegiatan-kegiatan yang
positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja
antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan
metode kerja, dan
memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 152
Cukup jelas
Pasal 153
Cukup jelas
Pasal 154
Cukup jelas
Pasal 155
Cukup jelas
Pasal 156
Cukup jelas
Pasal 157
Cukup jelas
Pasal 158
Cukup jelas
Pasal 159
Cukup jelas
Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah
isteri/suami, anak atau orang
yang sah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara
berurutan atau tidak, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan
maka surat peringatan
pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila
pekerja/buruh melakukan
kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6
(enam) bulan maka
pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang
juga mempunyai jangka
waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya
peringatan kedua.
Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan
dalam perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, pengusaha dapat
menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku
selama 6 (enam) bulan sejak
diterbitkannya peringatan ketiga.
Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh
kembali melakukan
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama,
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya
surat peringatan pertama
sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan melakukan kembali
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama,
maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha
adalah kembali sebagai
peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi
peringatan kedua dan ketiga.
Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama dapat
memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan
pertama dan terakhir.
Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian
kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang
waktu masa berlakunya
peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat
melakukan pemutusan
hubungan kerja.
Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya
mendidik pekerja/buruh
agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu
6 (enam) bulan ini
merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan
penilaian terhadap
kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 162
Cukup jelas
Pasal 163
Cukup jelas
Pasal 164
Cukup jelas
Pasal 165
Cukup jelas
Pasal 166
Cukup jelas
Pasal 167
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Contoh dari ayat ini adalah :
? Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima
pekerja/buruh adalah Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan
pensiun menurut
program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah)
serta dalam
pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi
yang ditanggung oleh
pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh
pekerja/buruh 40% (empat puluh
perseratus), maka :
? Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh
pengusaha adalah :
sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
? Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/
buruh adalah sebesar
40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
? Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha
sebesar Rp
10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
? Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat
PHK karena pensiun
tersebut adalah :
? Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program
pensiun yang
preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
? Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang
harus di bayar oleh
pengusaha)
? Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program
pensiun yang
preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh)
_______________________________________________________________
_ +
Jumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu
rupiah)
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 168
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini
adalah pekerja/buruh
telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat
pekerja/buruh sebagaimana
tercatat di perusahaan berdasar-kan laporan pekerja/buruh.
Tenggang waktu antara
pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari
kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 169
Cukup jelas
Pasal 170
Cukup jelas
Pasal 171
Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup
layak untuk
mengajukan gugatan.
Pasal 172
Cukup jelas
Pasal 173
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah
kegiatan yang dilakukan
secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh
hasil yang lebih baik untuk
meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang
berhubungan dengan
ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi
yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
Pasal 174
Cukup jelas
Pasal 175
Cukup jelas
Pasal 176
Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah
pegawai pengawas
dalam mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak
lain.
Pasal 177
Cukup jelas
Pasal 178
Cukup jelas
Pasal 179
Cukup jelas
Pasal 180
Cukup jelas
Pasal 181
Cukup jelas
Pasal 182
Cukup jelas
Pasal 183
Cukup jelas
Pasal 184
Cukup jelas
Pasal 185
Cukup jelas
Pasal 186
Cukup jelas
Pasal 187
Cukup jelas
Pasal 188
Cukup jelas
Pasal 189
Cukup jelas
Pasal 190
Cukup jelas
Pasal 191
Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur
ketenagakerjaan dalam undang-
undang ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai
undang-undang di bidang
ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut maupun yang masih
berlaku. Dalam hal
peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti
berdasarkan undang-undang ini,
agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini
tetap diberlakukan
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus
ketenagakerjaan sebelum
undang-undang ini berlaku dan masih dalam proses
penyelesaian pada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai
dengan asas legalitas,
terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut
diselesaikan berdasarkan
peraturan pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya
undang-undang ini.
Pasal 192
Cukup jelas
Pasal 193
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279